Dear Diary

Orang yang kembali ke buku harian adalah orang yang mencari dirinya, penyusuran jalan menuju pengembangan dan kesadaran, jalan menuju kreativitas.”

– Anais Nin (1903-1977)

Sebagai orang yang mempunyai sepuluh diary berbasis kertas, dua diary berbasis komputer, dan satu diary berbasis internet, saya akan mencoba menjabarkan jenis-jenis diary yang ada di dunia ini, beserta kelebihan dan kekurangannya. Tentu ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi, dan bukan teori ilmiah dan oleh karenanya harap tidak dikutip untuk kepentingan ilmiah (ya iyalah! lagian sapa juga yang mau ngutip).

Baiklah, saya sebutkan satu-satu.

Pertama, diary tradisional. Yaitu diary yang ditulis dalam buku, lalu bukunya disimpan di bawah bantal, atau bawah kasur, atau bawah tumpukan baju di lemari, atau pun tempat-tempat tersembunyi lainnya.

Secara fisik, biasanya dipilih buku yang agak tebal, dengan cover dan desain halaman yang menarik, dan kalau perlu dilengkapi dengan gembok. Sudah jelas penulis diary jenis ini tidak mengharapkan orang lain membaca bukunya.

Maka isinya pun akan sangat bebas, tidak mengikuti konvensi apapun. Topiknya juga tidak terbatas (mau tentang SARA, provokasi sosial, propaganda politik, ajaran sesat, atau pun sekadar makian kepada tetangga yang menyebalkan, atau kata-kata romantis norak untuk pacar, terserah).

Secara umum, isinya akan benar-benar berupa curahan hati sang penulis.

Kelebihan:

– Isinya akan amat jujur. Efek psikologisnya akan amat melegakan penulisnya.

– Bisa jadi bukti yang bermanfaat jika si penulis pada suatu hari terlibat dalam suatu kasus kriminal, misalnya. Atau diary ini kemudian bisa menjadi catatan sejarah yang penting seperti yang terjadi pada Anne Frank dan Mochtar Lubis.

– Praktis dibawa kemana-mana, sehingga bisa diupdate dalam bus, atau di ruang tunggu dokter gigi. Kapan saja, di mana saja.

Kekurangan:

– Karena dirahasiakan oleh pemiliknya, dapat saja sebuah buku diary yang sebenarnya isinya bagus luar biasa, tidak dapat diakses oleh orang lain atau bernasib teronggok di gudang hingga hari kiamat tanpa pernah ditemukan oleh orang lain. Mubazir begitu saja.

– Kalau kita punya sepuluh buku, dan ingin mencari tulisan tentang sesuatu, maka kita harus baca halaman demi halaman dari sepuluh buku itu. Jejak satu-satunya hanyalah kalau kita bisa menyebutkan tanggal / bulan / tahun tulisan yang kita cari.

Kedua, diary elektronik. Yaitu diary yang disimpan dalam bentuk file komputer. Pada awal tahun 1990-an, dokter muda dalam film seri Doogie Howser tampak selalu mengetik diary di komputernya di akhir episode. Biasanya isinya adalah ‘pelajaran yang ia peroleh hari ini.’ Keren sekali kelihatannya bagi saya yang waktu itu masih SMP kelas satu dan belum pernah menyentuh komputer.

Kelebihan:

– Praktis tidak perlu membeli buku.

– Keamanannya bisa diatur dengan password. (Meskipun tetap mesti berhati-hati dengan teman yang profesinya hacker. Tapi yah… probabilitas dijebolnya sama dengan kemungkinan teman kita tiba-tiba merogoh bawah kasur kita untuk mencari triplek tapi malah ketemu buku).

– Ada fasilitas ‘find words’ jadi gampang kalau mau mencari tulisan-tulisan yang telah lampau.

– Bisa diedit sepuasnya, diupdate semaunya, atau dihapus tanpa bekas.

Kekurangan:

– Komputer bisa diserang virus, flash disk bisa ‘entah di mana’, CD bisa patah kedudukan, dan akibatnya file Anda hilang. (Oh, it’ll hurts u so much, baby. Yup, i’ve been there).

– Tidak bisa diupdate di mana saja kalau Anda tidak punya laptop. Dan kalau pun punya, tetap tidak bisa dibuka di bus -kecuali tampang Anda lebih garang dari perampok-.

Ketiga, diary online. Yaitu diary yang berbasis web. Orang sering mengidentikkannya dengan weblog atau blog. (Meskipun tak semua blog isinya bisa disebut ‘diary’).

Blog yang Anda baca ini contohnya. Saya meniatkannya memang sebagai ‘personal blog’. Isinya ya tentang curhatan saya, uneg-uneg, buah pikiran, dan komentar-komentar tentang suatu isu, baik yang penting maupun yang dirasa penting.

Kelebihan:

– Idenya adalah berbagi. Menyuarakan sesuatu yang kita sadar ini untuk orang banyak, dan oleh karenanya mampu menggerakkan orang untuk melakukan hal-hal positif (atau negatif, eh, kalo ini berarti kekurangan donk ya).

– Kalau ternyata disukai banyak orang, maka bisa jadi seleb dadakan seperti Raditya Dika.

– Tidak bisa hilang. (Kecuali ada hacker yang iseng menjebol situs Anda dan menghilangkannya atau mengubah kontennya, tapi ini juga kalau Anda adalah orang yang cukup penting untuk dikerjai macam itu, misalnya Anda adalah seorang Menteri atau agen rahasia berbahaya yang sedang menyamar).

– Ada fasilitas yang memungkinkan tulisan Anda mendapat feedback dari pembaca. Misalnya dengan mereka memberi komentar, me-link blog Anda, dll.

Kekurangan:

– Isinya tidak akan benar-benar jujur. (Kecuali ditulis dengan identitas samaran, tapi ini juga pastinya tidak akan bisa benar-benar terbuka, karena selalu ada perasaan ‘takut ketahuan’). Securhat apapun, paling tidak nama-nama atau lokasi akan disamarkan. Segamblang apapun, penulisnya tetap terikat dengan etika dan hukum (apalagi bukankah di negara kita sudah ada UU internet?!).

– Kalau isinya sangat amat personal hingga nyaris ‘tidak berguna’ atau ‘tidak berarti apa-apa’ buat orang lain, apalagi kalau isinya pun tidak menarik, maka diary jenis ini tak akan dipedulikan orang. Ini akan cukup menyakitkan bagi sang penulis, hingga akan lebih baik kalau dia memilih jenis diary yang dua di atas saja.

Overall, mengenai tingkat kepuasan, hm… bagi saya masing-masing jenis diary memiliki efek puasnya sendiri-sendiri. Kalau menulis di diary tradisional dan elektronik, saya bisa amat lega karena seluruh uneg-uneg pikiran dan perasaan bisa keluar tanpa takut orang lain tahu. Mengatakan apa saja dengan bebas itu relieving dan menyehatkan jiwa.

Sedang untuk diary online, yah… kepuasannya adalah jika mendapatkan sambutan baik dari pembaca ataupun feedback menarik dari ide-ide yang dilontarkan.

Jadi gimana, pembaca yang baik, any comments?!

6 thoughts on “Dear Diary

  1. Hei Rina, ak jg dulu punya diary yang tradisional seperti km bilang. Memang isinya tentang curahan hatiku. N ak taronya jg tumpukan buku pelajaran. Tp skrng dah ga nulis lagi di diary lagi.
    Pengen tulis diary lagi ach………..

    Like

  2. Hai h5…
    Jangan dibuang ya buku diarynya…
    Kata dosen aku, diary itu termasuk catatan sejarah, jadi perlu didokumentasikan, karena mungkin bisa berguna di kemudian hari.

    Like

  3. ikut berkomentar:
    menulis diary = mendokumentasikan lika-liku hidup di masa sebelumnya untuk dijadikan bahan merangkai sejarah hidup di masa yang akan datang….
    salam kenal,
    syaiful bari

    Like

  4. siiiiiiiiiiiiiip 😉

    menurut saya,

    bahkan novel/cerpen/fiksi lainnya yang kita buat juga bisa menjadi gambaran hidup kita..

    sedikit-sedikit sebenarnya semua hal yang kita tulis bisa jadi diary pribadi 😀 hehehe..

    Like

What do you think?