5 Buku Pemicu Semangat Petualangan

littledelivery.com
littledelivery.com

Di setiap diri kita, saya yakin, ada sejumput hasrat berpetualang. Tapi jenis hasrat seperti ini perlu pembangkit. Bisa dalam bentuk teman yang berapi-api, atau rejeki nomplok menang kuis dan dapat tiket perjalanan gratis, atau film dengan latar suatu tempat yang mengesankan, atau juga buku-buku yang memicu imajinasi dan dengan suatu cara membangkitkan semangat kita buat bepergian kesana kemari seperti tokoh di buku itu.

Buat saya, ini terjadi beberapa kali. Tentu saja, oleh buku-buku yang keren.
Ini dia…

1. The Geography of Bliss oleh Eric Weiner

the-geography-of-bliss-1Dalam buku ini Eric bercerita bahwa ia mengunjungi beberapa negara di dunia untuk mencari definisi kebahagiaan. Ia ke Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Inggris, India dan Amerika, yang pada akhirnya menemukan bahwa definisi kebahagiaan di setiap negara itu berbeda-beda.

Petualang gila ini mewawancarai penduduk lokal dan mengamati bagaimana mereka menjalani keseharian dan mereka-reka kebahagiaan macam apa yang mereka peroleh. Dalam rangka riset, dia ikut menghisap ganja di Belanda, naik kereta tepat waktu di Swiss, memberi perhatian kepada seekor nyamuk yang lemah di Bhutan, intinya dia mencoba menjalani hidup seperti penduduk negeri itu supaya bisa merasakan apa yang mereka rasakan.

Di Bhutan ia bertemu seorang bernama Rinpoche yang menasehatinya,

“You are always writing, writing in your notebook. You need to experience. Really experience.”

Tapi saya rasa, wartawan kawakan ini sudah cukup kenyang dengan ‘pengalaman’, hanya melalui proyek buku ini. Belum lagi dihitung pengalamannya sebelumnya sebagai wartawan media besar. Saya sebagai pembacalah yang perlu ditegur, agar tak hanya membaca pengalaman orang dan mengomentarinya, tapi menjalaninya sendiri.

Itulah kira-kira salah satu point yang menendang saya dari buku ini.

2. Ernesto Che Guevara: The Motorcycle Diaries (Catatan Harian Amerika Selatan)

che-motorcycle-diariesBeberapa tahun sebelum Che Guevara menjelma menjadi sosok pemuda garang yang ikut berperang melawan diktator Batista di Kuba bersama Fidel Castro, ia hanyalah seorang mahasiswa Kedokteran yang penyakit asmanya sering kambuh. Tapi semangat petualangnya saat itu sudah tampak menyala-nyala.

Dia pada tahun 1950 melakukan perjalanan sejauh 4000 mil sendiri dengan moped, (sepeda motor yang bisa dikayuh), menjelajah bagian utara Argentina. Dan pada tahun berikutnya melakukan perjalanan mengelilingi Amerika Selatan yang ditulisnya dalam buku diary-nya ini. Ia bersama karib gilanya, Alberto Granado, seorang dokter spesialis kusta dan punya selera humor yang gawat.

Awal-awal perjalanan mereka sangat seru, dan kemudian semakin menantang dengan rusak totalnya sepeda motor mereka di tengah jalan sehingga mereka harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, menumpang lori dan menjadi penumpang gelap di kapal. Mereka kedinginan, kelaparan dan beberapa kali harus istirahat ketika Ernesto flu berat atau asmanya kambuh.

Yang paling parah adalah mereka harus menipu orang demi mendapatkan makanan.
Skenarionya adalah mereka akan ngobrol keras-keras di depan orang yang akan ditipu itu, dengan menggunakan aksen kental Argentina, memancing orang itu bertanya. Lalu mulailah si Alberto berucap mengeluh, “Kebetulan sekali, persis setahun lalu.” Sang korban bertanya apanya yang setahun lalu dan mereka menjawab bahwa itu awal perjalanan mereka.

Alberto yang lebih kurang ajar dibanding Ernesto akan mengeluh lagi, “Memalukan, dalam keterpaksaan seperti ini kita tak mampu merayakannya.” Biasanya korban akan langsung menawarkan membelikan minuman. Tapi dua orang ini akan menolak dan mengatakan bahwa di negeri asal mereka, Argentina, adatnya adalah hanya minum jika bersamaan dengan makanan. Maka mau tak mau orang itu akan membelikan mereka makanan juga.

Hehehe. Itu survival lesson dari buku ini yang langsung saya catat dalam hati. Di balik kesengsaraan sebuah perjalanan, selalu terdapat cerita seru yang berharga. Membaca ini, jadi pingin juga kapan-kapan bikin ‘Motorcycle Diaries’, walaupun cuma keliling Bali :p

3. Eat, Pray, Love oleh Elizabeth Gilbert

eat-pray-loveUntuk karya ini, filmnya sama baiknya dengan bukunya. Tidak hanya karena saya penggemar Julia Robert, tapi juga karena penggambaran latar ketiga negeri yang diceritakan itu indah dan sesuai dengan bayangan saya ketika membaca bukunya.

Tapi tentu saja, film tak pernah bisa mengalahkan paragraf-paragraf filosofis penuh perenungan yang ada di buku. Dalam buku ini, hampir semua halamannya membuat saya merenung. Ketika seorang perempuan mencapai tingkat usia tertentu, bermasalah dengan hubungan asmara, muak dengan kehidupan dan pekerjaan, maka melakukan petualangan ke negara asing sendirian menjadi hal yang pantas dipertaruhkan. Mirip dengan The Geography of Bliss, saya rasa Elizabeth pada dasarnya juga mencari definisi kebahagiaan. Tapi lebih sederhana dibanding Eric, ia menyimpulkannya hanya dalam tiga kata; makan, doa dan cinta.

“Groceries, dengarkan saya. Suatu hari nanti kamu akan melihat kembali masa-masa ini dalam hidupmu sebagai suatu masa kesedihan yang indah. Kamu akan melihat bahwa kamu bersedih dan hatimu hancur, tetapi hidupmu berubah dan kamu berada di tempat yang paling indah di dunia –di tempat pujian yang indah, dikelilingi oleh rahmat. Ambil waktu ini, setiap menit. Biarkan semua diselesaikan di sini di India.”
(Richard kepada Liz, Eat, Pray, Love)

Membaca ini saya jadi tergerak untuk mencari ‘keindahan yang dikelilingi oleh rahmat’ itu, entah bagaimana, di suatu tempat. Barangkali dapat bertemu sesuatu atau seseorang untuk menjawabnya nanti, meski tentu dengan semua risiko yang harus ditempuh. Tapi yang paling penting adalah kita semua sedang melakukan pencarian, dan rasanya pasti akan bahagia kalau menemukan sesuatu semacam jawaban.

4. The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana oleh Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang

the-dusty-sneakers-kisah-kawan-di-ujung-sanaIni rekor saya membeli buku sebulan setelah diterbitkan. Biasanya saya baru akan memiliki buku yang saya inginkan setelah ia pindah dari rak New Release ke rak Diskon 20%. Itu karena selama ini saya selalu menikmati tulisan dua orang ini di blog mereka; Twosocks yang kocak dengan kosakata puitis, dan Gypsytoes dengan tulisan yang kontemplatif dan fancy, maka begitu melihat sampul bukunya dari kejauhan di rak, langsunglah saya sambar.

Dan rupanya memang tidak mengecewakan. Sudah agak lama sejak semangat menjelajah saya terusik. Meski cuma tengak-tengok di pinggiran kota Jakarta atau hilir mudik di Kintamani. Tapi saya sepakat dengan yang ditulis Gypsytoes di buku ini, ‘perjalanan tidak hanya bermakna ketika kita bepergian ke tempat yang jauh’, dan juga bahwa dengan siapa kita pergi menjadi lebih penting daripada ke mana kita melangkahkan kaki. ‘Tempat apapun tampaknya bisa jadi menyenangkan jika kita pergi dengan kawan yang tepat’.

Fakta bahwa kedua petualang ini saling menyayangi membuat buku ini semakin mendebarkan. Selesai baca, rasanya pingin langsung menelepon teman tersayang dan mengajaknya siap-siap berangkat. Kemanalah yang seru.

5. The Man in the Brown Suit oleh Agatha Christie

the-man-in-the-brown-suitSaya baca novel ini mungkin sekitar 7 atau 8 kali saking favoritnya. Anne Beddingfield memang tokoh perempuan yang mempesona. Pemberani, bersemangat dan pintar. Setelah Papanya meninggal dan dia sebatang kara, dia malah menghabiskan seluruh uang yang dia punya untuk ongkos naik kapal ke Afrika Selatan, demi mendapat petualangan.

Tidak hanya mendapat petualangan gila-gilaan, Anne juga kemudian berhasil menangkap gembong penjahat internasional, menulis laporannya untuk koran besar di Inggris, dan juga menemui takdir cintanya, seorang pemuda Rhodesia yang kuat dan pendiam. Aduh, itu romantis sekali.

Setiap kali baca buku ini, saya jadi berpikir bahwa, yeah, hidup ini singkat, dan cuma sekali. (Selalu mungkin ada reinkarnasi sih, tapi yah, setidaknya sekarang masih bisa menikmati hidup sebagai manusia yang bisa lari-lari. Mungkin akan jauh beda kalau nanti terlahir sebagai kodok, misalnya). Maka harus dinikmati sepenuh-penuhnya. Tanpa takut dan tanpa ragu-ragu mencoba semuanya. Dan hidup berbahagia untuk hari ini. Tidak cemas akan besok, dan tidak bete karena kemarin.

Yang pasti, kalau memang ada reinkarnasi, saya berharap terlahir jadi Anne Beddingfield saja. :p

~ o 0 o ~

Sebenarnya ada satu buku lagi yang memicu semangat petualangan saya –setidaknya di masa kanak-kanak– dan demi menghormati perannya membuat masa kecil saya bahagia, saya sebut saja dia di sini sebagai cameo, yaitu… serial Lima Sekawan! πŸ˜‰

~ o 0 o ~

Baca juga:

Definisi Bahagia 2013

Lima Buku yang Mengubah Saya di Tahun 2011

Belahan jiwa datang untuk membuka lapisan dirimu, lalu pergi

2 thoughts on “5 Buku Pemicu Semangat Petualangan

  1. Aku tambahin satu ya πŸ˜€
    The 100 year old man who climbed out of the window and disappeared.
    Tentang seorang kakek berusia 100 tahun yang berani memulai petualangan baru dengan kabur satujam sebelum acara ulang tahunnya dimulai πŸ˜€

    Like

Leave a reply to Kaaaaa~ Cancel reply