Hitam Putih Jazz dan Islam

Lagi dengerin Black or White-nya Michael Jackson, dan jiwa saya melayang naik balon udara. Terbang… berayun… melaju… melewati awan-awan…

Setelah beberapa waktu yang rasanya sudah berjam-jam, tiba-tiba balon udara saya terjatuh di jalan yang ramai orang hilir mudik. Di sekeliling, lampu-lampu gedung amat gemerlap. ‘Di mana ya ini?’ 

Di depan saya tampak sebuah klub malam, namanya Monroe’s Uptown House. Oh, rupanya ini di Harlem, di New York! Dengan memperhatikan gaya berpakaian orang-orang yang lewat, saya tebak ini adalah sekitar tahun 1940-an. Ok, artinya tadi saya menaiki ‘Balon Waktu’.

Tiba-tiba terjadi keributan di seberang jalan, di depan sebuah restoran. Seorang pria berkulit hitam tengah marah-marah dan memaki-maki penjaga pintu. Lalu datanglah seorang berbadan bodyguard menengahi persoalan, yang kemudian berhasil mengusir si orang kulit hitam itu.

“Hihihi… si negro itu marah-marah karena nggak diijinin masuk,” terdengar suara seorang wanita kulit putih di samping saya, yang bicara dengan teman prianya. “Dia nggak bisa baca apa?! Dasar bodoh!” Kedua orang itu pun tertawa. (Dialog ini di-dubbing).

Ah, saya pun maklum. Ini adalah periode terjadinya diskriminasi warna kulit dan ras di Amerika. Orang-orang berkulit berwarna dibatasi hak-haknya. Hak memilih dalam pemilu, hak masuk perguruan tinggi, hak masuk ke gereja (sehingga dibuat gereja khusus kulit hitam), termasuk juga hak untuk masuk ke tempat-tempat umum, seperti restoran.

Saya lalu berjalan mendekat ke restoran tersebut. Di depan pintunya ada tulisan:

Beberapa saat kemudian ada lagi seorang pria berkulit hitam hendak masuk ke restoran tersebut. Penjaga pintu segera menahannya.

Pria yang memakai setelah jas dan dasi rapi itu tersenyum. Rasanya saya mengenali orang itu. Dia adalah Oliver Mesheux, musisi bebop, temannya Dizzy Gillespie.

Pria itu lalu merogoh dompet di saku jasnya. Rupanya ia mengeluarkan sebuah kartu identitas semacam KTP dari dompetnya. Saya cepat-cepat ikut melihat apa yang tertulis di kartu tersebut.

Name : Mustafa Dalil
Job title : Musician
Race : W (white)

Setelah melihat kartu itu, penjaga pintu pun balas tersenyum, lalu mempersilahkan orang itu masuk. Saya jadi heran. Kok boleh masuk? Dia kan berkulit hitam? Kok namanya jadi Mustafa Dalil?

Belum terjawab, dan balon waktu saya sudah menjemput. Saya terbang lagi.

* * * * *

Maka saya tanya pada awan-awan hitam (karena malam hari. Kalau siang, mereka putih. Kecuali waktu mendung. *penting ya*).

Lalu awan-awan memberi penjelasan: “Orang kulit hitam terkenal memiliki musikalitas tinggi. Musik blues dan juga jazz, pada awalnya diciptakan oleh budak-budak kulit hitam. Mereka suka bermain musik dan bernyanyi-nyanyi di ladang-ladang kapas tempat mereka bekerja. Hanya itulah cara mereka menghibur diri dari kesengsaraan. Itu sebabnya musik jazz banyak yang terdengar sendu dan menyayat hati. Tapi kadang-kadang juga berubah menjadi musik yang riang, seperti swing.

jazzwax.com

Lalu budaya Afro-Amerika ini mulai populer di New York. Setiap malam ramai musisi memainkan jazz di berbagai klub. Beberapa orang kulit putih pun ikut menggemari musik ini yang seperti kata Milton Mezzrow, “hit me like a millennium would hit a philosopher,” waktu ia mendengarkan jazz pertama kali.

Namun hal ini tidak mengurangi berlakunya diskriminasi warna kulit di Amerika.

Yang menarik kemudian adalah, banyak dari musisi jazz pada masa itu masuk agama Islam. Sebut saja Art Blakey, Kenny Clarke, Ben Dixon, dan masih banyak lagi.

Rupanya, kalau orang berkulit hitam masuk Islam, mereka akan dianggap sederajat dengan orang kulit putih. Karena paham Islam tidak mengenal diskriminasi dalam bentuk apapun. Karena itu, di KTP mereka yang masuk Islam, akan ditulis bahwa warna kulit mereka ‘putih’ (white) dan bukan ‘berwarna’ (colored).”

Demikian penjelasan dari awan-awan. Islam tidak mengenal diskriminasi dalam bentuk apapun, katanya. Artinya Islam bicara persamaan dan kesetaraan. Apa iya? Yah, mungkin kalau kita menulis islam dengan i kecil…

Dan saya mendarat lagi di rumah, dengan earphone menggemakan teriakan Jacko,

And i told about equality
and it’s true either you’re wrong or you’re right
but if you’re thinkin’ of being my brother
it don’t matter if you’re black or white…

~ o 0 o ~

“Man, if you join the Muslim faith, you ain’t colored no more, you’ll be white,” they’d say. “You get a new name and you don’t have to be a nigger no more.”

To Be, or Not to Bop
Dizzy Gillespie Memoir

~ o 0 o ~
~ o 0 o ~
~ o 0 o ~

Baca juga:

Hidup Seperti Jazz

Between the Wars: Jazz in Black and White

Muslim Names in Jazz

Metamorfosis Jazz: Sketsa Perjalanan Miles Davis

4 thoughts on “Hitam Putih Jazz dan Islam

  1. Pingback: membaca tekun dan senang: To Kill a Mockingbird | Boneka Ketujuh

What do you think?