Ikal dan Max Havelaar (Ya, Aku Bakal Dibaca)

Membaca kisah Andrea ‘Ikal’ Hirata, dengan segala kemenarikannya, mau tak mau mengingatkan saya dengan kisah Max Havelaar. Ada persamaan di sana (SPOILER ALERT!):

Yaitu bahwa keduanya adalah memoar, kisah nyata yang dialami tokoh utama, namun dibumbui cerita fiksi.

Saya tidak tahu bagaimana Andrea akan menjawab, tapi kalau Multatuli a.k.a. Douwes Dekker a.k.a. Max Havelaar dalam buku ini dengan jelas menyatakan argumennya mengapa ia menaburkan fiksi di dalam sebuah ‘otobiografi’.

Sebelum dia, sudah banyak residen maupun asisten residen di Hindia Belanda yang menulis laporan tentang kesemena-menaan para birokrat di Hindia. Bahwa para bupati bersekongkol dengan para residen untuk menyengsarakan rakyat yang sudah sengsara itu. Mereka disuruh kerja paksa sementara pemimpinnya foya-foya. Mereka kelaparan sampai mati sementara pemimpinnya merebut sapi-sapi pembajak sawah yang mereka punya.

Tapi laporan-laporan yang ditulis resmi, penuh sopan-santun, dan kaku itu tidak dibaca orang. Bahkan yang dikirimi surat pun (para atasan) tidak benar-benar membaca. Terbukti dengan tidak adanya tindakan apapun sesudahnya. Rakyat tetap sengsara dan sapi-sapi tetap dirampok. Bupati dan residen tetap berjaya di atas penderitaan mereka.

Maka sampailah Douwes Dekker, yang bertahun-tahun hidup miskin karena telanjur bertekad menjadi idealis itu, di bumi Jawa, sebagai pejabat asisten residen. Di Lebak tepatnya. Dia melihat tragedi itu dengan mata kepalanya sendiri, dan dia tidak bisa diam. Dia pun melawan sekuat tenaga (setidaknya itu yang tersurat dalam buku), tapi sia-sia. Laporan-laporan yang dia buat tidak pernah dipedulikan. Ia ditawari pindah kerja di tempat lain, tapi dia memilih berhenti menjabat.

Apa yang bisa dilakukan seorang yang punya istri dan anak, miskin, dan idealis ketika kehilangan pekerjaan?

Yup, menulis buku.

Sangat tepat bahwa ia kemudian menulis kisah hidupnya, kisah nyata hidupnya, dengan cara-cara yang menarik. Maksud sesungguhnya, yaitu mengungkapkan kebusukan, tidak kita temukan sampai di tengah buku. Dan saat itu kita sudah terjerat untuk membaca terus.

Di bab-bab awal dia bercerita dengan gaya yang lucu dan nyaris menyenangkan (buat saya) tentang tokoh-tokoh fiktif (yang belakangan baru saya ketahui kalau mereka ternyata fiktif). Tapi bukan tidak ada hubungannya dengan cerita inti.

Karakter-karakter itu hidup sekali dan membuat saya terkesan dan ingin membaca sampai akhir. Dan itulah yang rupanya ditekadkan oleh Douwes Dekker. “Ya, aku bakal dibaca,” katanya dengan PD. Dan dia berhasil.

Orang-orang Eropa waktu itu seketika mual dengan kopi dari Jawa yang mereka minum, karena mereka baru tahu (dari Multatuli) bahwa kopi-kopi itu ditanam bercampur dengan darah penanamnya. Reaksi-reaksi yang diharapkan oleh sang pengarang muncul. Walaupun tidak membuat perubahan yang besar, tapi setidaknya sekarang dunia tahu apa yang terjadi. Dan tidak sekadar tahu, -dengan kekuatan fiksi yang menyentuh- mereka juga berempati.

Beralih ke Ikal dengan Laskar Pelangi-nya, ia mengungkapkan hal-hal yang secara garis besar sama. Kesengsaraan rakyat, pemimpin foya-foya, dan perampokan timah-timah (sapi-sapi ala Belitung).

Sudahkah ada ‘laporan-laporan’ sebelumnya? Mungkin saja ada, tapi yang pasti laporan-laporan itu tidak terbaca.

Tapi lihatlah sekarang buku apa yang dibaca orang-orang di Jakarta akhir-akhir ini. Di angkot, di metromini, di halte, di depan tv, di depan kolam renang, di kampus, di pameran buku, di pameran kain, di mana-mana.

Laskar Pelangi. Sang Pemimpi. Edensor. Ini semacam euforia Andrea Hirata.

Jadi dunia pun menoleh ke Belitung, menatap miris timbunan timah. Seperti dulu seabad yang lalu dunia menengok ke Lebak, menghirup ironis bau kopi.

Anda mau dibaca? tulislah kebenaran Anda dalam selimut fiksi yang lucu.

4 thoughts on “Ikal dan Max Havelaar (Ya, Aku Bakal Dibaca)

  1. Iya yah.. gap yg ada di belitung antara pegawai PN dan rakyat biasa pasti udah berlangsung lama, tapi baru belakangan aja kesenjangan itu terkuak… saat dimana PN sudah tidak ada lagi… tapi setidaknya ini membukakan mata para pemimpin bahwa di bumi nusantara ini masih ada daerah-daerah yang demikian… bravo buat ikal..

    Like

  2. Yes. Masih banyak daerah2 yang kondisinya sama dengan Belitung. Jadi, saya yakin tulisan Andrea juga berdampak buat daerah2 lain itu.

    Like

What do you think?